Oleh : Dr. Fahrurrazi, M.Si.


Menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) sebenarnya merupakan ikhtiar baik, untuk membuat rangkaian proses memilih penyedia semakin memberikan nilai, khususnya pada point efisiensi dan efektivitas. Paradigmanya pun seharusnya merupakan ilmu manajemen dengan unsur seni dan keterampilan tertentu. Sehingga akan sangat banyak dipengaruhi oleh variabel-variabel, seperti kekayaan informasi pasar, semangat mencari informasi, kemudahan jalur informasi, keunikan karakteristik yang akan diadakan, motivasi penjual, dan lain-lain.

Contoh proses sederhananya bisa terlihat dalam aktifitas yang sering dilakukan oleh Para Pembelanja sebelum melakukan transaksi. Idealnya agar ada standar pada saat bertransaksi, Para Pembelanja tersebut terlebih dahulu melakukan ikhtiar-ikhtiar mencari harga pasaran. Fungsi sederhananya adalah Kita punya patokan agar bisa menawar, bisa mengatakan kemahalan, bisa curiga kalau terlalu murah, dan bisa mengukur uang lebih akurat sebelum belanja.

Namun ternyata hal yang terkesan sederhana ini kadang menjadi tidak sederhana ditafsirkan, ketika penyusunan harga perkiraan ini dipergunakan untuk penyelenggaraan pengadaan barang/jasa pemerintah. Variabel-variabel baru pun menjadi pertimbangan, mengingat yang dipakai ada uang negara yang mana negara tak mau dan tak boleh dirugikan. Sesekali terdengar bagaimana permasalah hukum dalam pengadaan, salah satu penyebabnya adalah ketidakcermatan dalam penyusunan HPS.

Berdasarkan hasil evaluasi terhadap beberapa permasalahan administrasi dan hukum pengadaan yang berurusan dengan soal HPS, diramu menjadi pendekatan catatan penting bagi pihak yang dapat tugas nge-draft atau menetapkan HPS, dengan kalimat-kalimat obrolan melalui kelompok ulasan sebagai berikut : 

  • Pemenuhan Harga Pasar

HPS yang paling ideal adalah diperolehnya harga pasar atas kejadian transaksi. Sehingga kalau sudah bertemu dengan harga pasar atas transaksi yang sebenarnya, maka itulah dasar HPS. Contoh sederhana ketika sebuah toko menjual komputer dengan harga Rp. 5 juta, dan pembeli berada di lokasi yang relatif dekat dengan toko, maka nilai itulah lah HPS. Tak perlu menjadi lebih mahal dengan ditambahkan keuntungan, karena asumsi sederhananya ketika toko menjual, toko sudah mendapat keuntungan dan idealnya toko sudah perhitungkan pajak.

Pemikiran ini mungkin menjadi aneh bagi PPK/Pejabat Pengadaan yang terbiasa berbelanja pada penyedia-penyedia makelar yang bermodal cuma izin usaha dengan sub bidang seabrek-abrek. Dengan argumen yang dipegang, bahwa kalau pengadaannya tidak langsung ke toko namun melalui perusahan tersebut, maka ditambahkan lagi biaya-biaya seperti keuntungan. 

Hal tersebut di paragraph di atas lah yang sebenarnya menjadi aneh dan membuat pengadaan tidak efisien. Seharusnya Kita bertransaksi dengan nilai yang semakin mendekati harga pasar. Komponen biaya yang ditambahkan hanya biaya yang memang dibutuhkan namun belum terakomodir dalam informasi pasar tersebut. Misal jika berbelanja komputer yang dekat kantor dengan jumlah banyak dan toko bersedia mengantarkan atau mungkin Kita yang ambil semdiri, maka tak perlu ditambahkan ongkos kirim. Namun jika lokasi jauh dan harga yang diperoleh belum termasuk harga pasar, maka dimungkinkan untuk ditambahkankan ongkos kirim yang juga harus sesuai dengan harga pasar. Termasuk pajak seperti PPN, jika memang belum termasuk maka dapat ditambahkan.

  • Sumber Informasi dan Kalkulasi Yang Dapat Dipertanggungjawabkan

Banyak referensi informasi yang dapat dijadikan HPS. Namun tetap kata kunci yang terpentingnya adalah informasi tersebut berdasarkan kalkulasi harga pasar kekinian yang dapat dipertanggungjawabkan. Nyaris banyak sekali bentuk-bentuk informasi yang bisa dipergunakan, tapi tetap mindset dan logika sehat pengadaan yang efektif dan efisien harus dikedepankan.

Seperti contoh untuk pengadaan yang ada di sekitaran Kita, maka ketersediaan di pasaran sekitar Kita yang diutamakan. Kalau tak ada, atau terdapat informasi lain yang lebih update dan bertanggungjawab, maka informasi tersebut dapat dipergunakan.

Sumber HPS ini juga yang dapat menjadi ekstra tambahan pekerjaan jika didapatkan dari sumber-sumber yang belum matang kalkulasinya. Misalkan informasi dari sebuah website, maka perlu ikhtiar tambahan untuk memastikan apakah website tersebut dapat dipertanggungjawabkan, apakah harga sudah jelas cakupannya, apakah sampai di titik lokasi yang Kita butuhkan, apakah ada kalkulasi lain, apakah sudah termasuk pajak, dan lain-lain. Hal terpentingnya adalah ada ikhtiar untuk memastikan komponen biaya telah telah memenuhi spesifikasi (mutu, jumlah, lokasi, waktu, dan tingkat layanan) yang dibutuhkan. 

Beberapa catatan khusus yang perlu disampaikan dalam bahasan substasi ini adalah :

1. Kejelasan Sumber Informasi

Dalam penyusunan HPS dituntut cermat dalam memilih sumber informasi HPS. Beberapa kasus dalam pengadaan yang menimpa Sang Penetap HPS adalah tidak mendapatkan informasi HPS dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Misalkan, idealnya mendapatkan informasi untuk pengadaan alat kesehatan adalah melalui pabrikan/distributor tunggal, namun ternyata penyusun HPS mendapatkannya dari pihak sub distributor yang mengaku sebagai distributor, dengan kalkulasi harga berlipat-lipat jika dibanding langsung memperoleh dari sumber awalnya. 

Kondisi ini sebenarnya bisa kembali landai jika dalam proses pemilihan terjadi proses kompetitif, tanpa syarat diskriminatif, pemaketan yang cermat, dan waktu yang cukup bagi penyedia dalam mengikuti kompetisi. Namun menjadi naif jika indikator tersebut tidak terpenuhi. Sehingga cukup dikhawatirkan yang akan tampil adalah sosok sub distributor yang memberikan info HPS berkali lipat tadi, ikut menjadi peserta lelang yang telah lebih siap dari awal dengan barang yang diminta, sehingga harga yang tinggi tadi menjadi leluasa sebagai patokan penawaran.

2. Penggunaan Standar Biaya

Masih ada yang berbeda mazhab tentang apakah Standar Biaya yang ditetapkan oleh Kepala Daerah di suatu wilayah dapat langsung dijadikan HPS. Hal ini kadang dikarenakan keengganan para pihak untuk melakukan kembali pemetaan informasi pasar, sehingga cara praktisnya langsung menggunakan standar biaya kepala daerah setempat.

Dalam hal ini jumhur ahli pengadaan berpendapat bahwa penyusunan HPS dengan penggunaan langsung standar biaya tidaklah tepat (dikecualikan untuk maksud penyusunan HPS atas billing rate konsultan). Apalagi beberapa pendekatan aturan dan pendekatan teknis mengedepankan penetapan HPS dilakukan menjelang masuknya penawaran penyedia. Sehingga standar biaya yang ditetapkan beberapa waktu lampau tidak memenuhi maksud ini.

Standar Biaya kepala daerah lebih tepat digunakan untuk menyusun pagu anggaran, yang dapat dipergunakan untuk penyusunan RUP, RKA/RKA-KL, dan DPA/DIPA. Untuk penyusunan HPS, maka optimalkan informasi pasar dan bukti transaksi riil pengadaan. 

3. Penggunaan Produk Konsultan

Menetapkan HPS yang bersumber dari Engineering Estimate (EE) Konsultan merupakan salah satu pendekatan yang sangat membantu bagi Penetap HPS. Tapi tetap perlu diingat bahwa tidak serta merta produk tersebut langsung dinyatakan sah tanpa adanya pembahasan terlebih dahulu untuk memastikan segenap kalkulasi yang digunakan penyedia. Terkadang penyusunan EE itu sendiri sudah lampau waktunya, sehingga mungkin tidak sesuai dengan kekinian harga pasar. Atau terdapat kalkulasi yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. 

Untuk itu pihak yang menetapkan HPS hendaknya ketika menerima produk EE tersebut melakukan analisis atas segenap komponen kalkulasi. Tak menutup kemungkinan melibatkan ahli/tim teknis untuk mengevaluasinya. EE yang sudah dikaji dan dinilai handal sebagai pedoman perkiraan inilah yang kemudian ditetapkan menjadi Owner Estimate (OE) atau HPS.

4. Pengurangan Diskon

Tak ada memang ketentuan yang memerintahkan Penyusun dan Penetap HPS menanyakan apakah ada diskon atau tidak pada saat mengumpulkan informasi HPS. Tapi terasa sekarang ini beberapa permasalahan hukum yang muncul mempersalahkan Para Penyusun dan Penetap HPS yang tidak menanyakan dan tidak mengkalkulasikan diskon. 

Seperti tuduhan kepada sosok PPK sebagai penetap HPS yang melakukan mark up HPS untuk pengadaan alat peraga pendidikan, karena tidak menanyakan keberadaan diskon, padahal terdengar kabar bahwa pengadaan sejenis itu sarat akan diskon. Atau cerita lain tentang pengadaan alat berat yang diskonnya sengaja ditutupi, agar nilai diskon ini bisa jadi bancakan fasilitas berbagi jahat pasca pengadaan.

Ternyata salah satu penyebab munculnya pola tak boleh diskon masuk HPS ini adalah karena salah satu pendekatan kalkulasi dalam menyusun HPS yang tidak memperbolehkan menambah biaya lain-lain dan biaya tak terduga. Pemaknaan dari jumhur beberapa ahli pengadaan menterjemahkan diskon pada saat kalkulasi HPS termasuk biaya lain-lain yang tidak boleh ditambahkan.
Atas permasalahan ini, cukup sangat disarankan kepada penyusun dan penetap HPS untuk melengkapi ikhtiar penyusunan HPS dengan menanyakan ada tidak pengenaan diskon. Kalau memang ada, kurangi lah. Tapi jangan lupa pertimbangkan waktu dan kalkulasi spesifikasi pekerjaan dalam pengurangan diskon jika memang ada. Karena pemberian diskon bisa merupakan strategi bisnis penyedia.

Secara sederhana dapat dicontohkan ketika PPK mencari informasi HPS melalui bersurat kepada pabrikan atau distributor tunggal, tak ada salahnya di surat juga turut menanyakan ada tidaknya kalkulasi diskon jika pengadaannya dilakukan pada jadwal pemilihan penyedia yang telah direncanakan. Jawaban yang diberikan dapat dijadikan dasar dalam perhitungan. Sehingga kalau hadir tuduhan tidak memperhitungkan diskon dan harga diduga mark-up, bisa dijawab dengan bijak. 
Catatan tambahan, jangan sampai menanyakan dan memberi informasi diskon juga disertai pemufakatan jahat.

5. Jumlah Informasi HPS

Berapa banyak informasi HPS yang diperlukan untuk bisa ditetapkan? Tak ada aturan spesifik yang menyatakan jumlah minimal sumber HPS. Karena yang terpenting adalah sumber tersebut jelas, dapat dipertanggungjawabkan, dan akurat dalam kalkulasinya. Sehingga telah mendapatkan 1 (satu) referensi pun sudah memenuhi atas maksud ini.

Namun sangat tetap disarankan untuk penyusun HPS, setidaknya mempunyai lebih dari 1 (satu) referensi. Hal ini dengan maksud lebih agar dalam penetapan HPS nanti terdapat informasi yang lebih mempertajam pola kalkulasi.

6. Di Antara Beberapa Pilihan Informasi HPS

Jika dimiliki lebih dari 1 (satu) sumber informasi, semisal 3 (tiga) referensi, maka yang manakah yang dipakai? Yang terendah (minimal), tertinggi (maksimal), nilai tengah (median), nilai yang sering muncul (modus), atau rata-rata (rerata)? Dalam hal ini terdapat pemikiran-pemikiran yang berbeda dari beberapa ahli pengadaan. Kondisi yang wajar, karena memang menyusun HPS itu seni dan peraturan pun tidak membatasinya. Hal yang terpenting adalah proses pemilihan penyedia dilakukan dengan benar.

Ada yang menggunakan pendekatan tertinggi, karena punya niat agar banyak peserta yang bertarung dalam proses tender. Pendekatan ini terkadang dikritisi, karena dianggap tidak efisien dalam menggunakan patokan harga yang tinggi. 

Ada yang menggunakan pendekatan dengan nilai rata-rata atau nilai modus, karena bermaksud memperoleh harga keterwakilan dalam proses lelang/seleksi. Pendekatan ini dikritisi karena dinilai tidak cukup handal jika terdapat beberapa sumber informasi dengan nilai deviasi yang besar.

Ada yang menggunakan pendekatan dengan nilai terendah, karena bermaksud menjaga efisiensi dari nilai awal pengadaan. Pendekatan ini terkadang ditolak karena dinilai tidak cukup tepat untuk membuat persaingan dengan jumlah peserta yang lebih banyak.

HPS bukan merupakan variabel yang berdiri sendiri. Sehingga tidak tepat jika muncul tuduhan bahwa permasalahan tunggal pengadaan adalah HPS yang salah. Bahkan ketidakcermatan dalam menyusun HS pun bisa ditangkis, ketika proses pemilihan penyedia normatif, kompetitif, dan tanpa niatan jahat. Namun untuk meminimalisir potensi permasalahan atas persepsi yang tidak seragam tersebut, maka direkomendasikan dalam penyusunan HPS atas kondisi lebih dari 1 (satu) sumber informasi, pendekatan yang dipergunakan adalah dengan menggunakan harga yang minimal. Pilihan ini tentunya dengan catatan bahwa variasi yang ada merupakan harga atas barang/jasa yang spesifikasinya telah memenuhi kebutuhan.

7. Penambahan Keuntungan

HPS disusun dengan memperhitungkan keuntungan dan biaya overhead yang dianggap wajar. Overhead merupakan biaya yang dikategorikan sebagai biaya produksi selain biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung. Dalam sebuah perusahaan yang memproduksi barang, biaya overhead didefinisikan sebagai biaya penolong, biaya tenaga kerja tidak langsung, dan semua biaya produksi lainnya yang tidak dapat dengan mudah diidentifikasikan atau dibebankan secara langsung pada pesanan dan produk tertentu. Di dalam pengadaan barang / jasa, biaya overhead bisa diartikan sebagai biaya yang diperlukan oleh penyedia selain harga barang itu sendiri, misalnya biaya untuk jasa akuntan perusahaan, biaya asuransi, biaya bunga, biaya untuk aspek hukum dan perijinan, biaya untuk ATK, biaya telepon dan sebagainya.

Dalam dunia perdagangan secara umum, tidak ada batasan keuntungan yang didapat oleh seorang pedagang atau pengusaha atas produk barang/jasa yang ditawarkan atau dijual. Yang penting ditempuh dengan pemenuhan peraturan yang berlaku dan etika kehidupan.

Adanya ketentuan dapat menambah nilai keuntungan dan overhead maksimal 15% (lima belas perseratus) dari total biaya tidak termasuk PPN, merupakan upaya untuk pemenuhan efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah. Penambahan keuntungan perlu memperhatikan dari mana sumber harga pasar didapatkan. Terdapat kelompok informasi pasar dalam menghitung HPS, tergantung jenis barang/jasa dan sumber perolehan informasi pasarnya.

Jenis barang/jasa di pasar dapat dikelompokan ke dalam barang yang sudah tersedia di pasar atau barang/jasa hasil proses produksi. Sedangkan perolehan informasi pasar dapar dilihat apakah harga tersebut sudah harga jual atau belum harga jual. Sehingga penambahan keuntungan dan overhead pada saat PPK membuat HPS tergantung informasi-informasi tersebut atas jenis pengadaan barang/jasanya.

Seperti contoh ketika menyusun HPS untuk pengadaan barang yang harganya jualnya sudah didapat dari toko sekitar kita, maka tidak perlu ditambahkan keuntungan. Hal ini dengan asumsi harga tersebut sudah merupakan harga jual dan harga pasar. Tapi ketika ada pekerjaan konstruksi yang sifatnya merupakan pekerjaan produksi yang mengkombinasikan segenap material, tenaga kerja dan alat, maka dapat ditambahkan keuntungan dan overhead.

  • Dokumentasi Riwayat HPS

Sebagai bentuk pemenuhan akuntabilitas, maka riwayat perolehan HPS harus didokumentasikan. Namun pendokumentasian ini jangan sampai diwarnai dengan perbuatan fiktif dan rekayasa negatif. Contoh sederhana yang kerap ditemukan seperti dibuatkan dokumen penyusunan HPS yang seolah-oleh telah meminta harga dari sebuah perusahaan, namun ternyata hanya buatan dari rekayasa sendiri yang nge-draft HPS. Tindakan ini justru yang membahayakan.

Proses ini dalam logika pengumpulan data sebenarnya relatif mudah. Misal untuk pengadaan barang/bahan/material yang di sekitaran Kita (contoh : toko), tinggal melakukan kunjungan dalam bentuk survey. Tak perlu dengan rekayasa Berita Acara yang diketik rapi jika memang tidak memungkinkan (kalau bisa tentu lebih baik). Silahkan untuk mencatat informasi yang didapat pada kertas kerja atau bahkan secarik kertas yang dapat terbaca. Jika mau ditambahkan ikhtiar tandatangan atau stempel toko dipersilahkan, namun jika pihak toko tak memberikan pun tidak masalah. Tambahkan saja catatan di kertas kerja kalau sudah dimintakan tanda tangan dan stempel, namun toko tidak berikan. 

Hal ini kadang jadi pertanyaan lanjutan apa ini boleh? Apalagi pemikirannya apa nanti yang mengaudit mau terima? Tentu bisa terjawab bahwa tak ada perintah penyusunan HPS harus diketik rapi dan ada legalisasi dari toko. Yang terpenting benar datanya, disusun dari informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, dan didokumentasikan. Bahkan mendapatkan informasi dari via telpon ke toko pun dimungkinkan. Yang penting sudah dapat dipastikan nomor telpon tersebut memang benar tujuannya dan informasinya yang didapat tercatat dengan baik. Jika yang mengaudit meragukan, silahkan untuk melakukan pengecekan kepada pihak yang tercatat dalam kertas kerja tersebut.

  • Ketepatan Waktu

Harga menjelang proses memilih penyedia merupakan harga dengan situasi yang paling handal untuk ditetapkan menjadi HPS, karena lebih mewakili situasi ketika akan bertransaksi. Untuk itu bagi pihak yang menetapkan HPS harus dapat memastikan harga perkiraan yang akan ditetapkan merupakan harga mutakhir.

Ketika sumber informasi yang akan ditetapkan diperoleh dari situasi waktu yang lampau, maka diperlukan ikhtiar untuk memperbarui informasi tersebut, baik secara langsung seperti mencari informasi pasar, atau dengan menggunakan kalkulasi yang mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat mengkonversikan harga tersebut, seperti infalasi dan norma indeks.

Sebagai penutup catatan yang mungkin akan berkembang di kesempatan yang berbeda, kembali mengulang beberapa rangkaian kalimat sebelumnya di atas, bahwa HPS bukan merupakan variabel yang berdiri sendiri. Bahkan tuduhan permasalahan pengadaan dari sebuah proses penyusunan HPS yang salah pun bisa ditangkis ketika proses pemilihan penyedia normatif, kompetitif, dan tanpa niatan jahat. Sehingga untuk para Penyusun dan Penetap HPS, pastikan untuk : 1) Dapatkan informasi yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan; 2) Kalkulasikan dengan tertib dan tepat dalam menambah komponen biaya yang dibutuhkan; 3) Lihat ketepatan waktu  pada saat pengumpulan informasi dan penetapan; 4) Dokumentasikan dengan rapi segenap informasi dan cara kalkulasi yang telah dilakukan; 5) Hindari kejahatan dalam pengadaan pada saat penyusunan HPS (Stop Fiktif, Stop Mark-up Jahat, Stop Rekayasa Negatif, Stop Suap/Gratifikasi).

Tulisan ini telah ditayangkan di website Pusat Pengkajian Pengadaan Indonesia (P3I)

Please follow and like us:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *