Senin, 5 Mei 2020, kembali bertugas memberikan keterangan keahlian pengadaan barang/jasa pada persidangan terbuka untuk umum di salah satu Pengadilan Tipikor. Sempat disarankan agar dilakukan dengan skema daring, namun akhirnya tetap diharuskan hadir di persidangan, dengan protokol lengkap pencegahan Covid-19. Sempat ada kekhawatiran juga, terlebih akan melintasi dan memasuki daerah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tapi Alhamdulillah, perjalanan dan proses sidang berjalan cukup baik dan tertib.
Sidang kali ini seperti judul di atas, terkait dugaan terjadinya tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan Pengadaan/Barang Jasa yang dananya bersumber dari Hibah APBD salah satu Provinsi ke salah satu lembaga/organisasi masyarakat non pemerintah di tahun 2014.
Singkat alur kasusnya, bahwa diduga terjadi tindak pidana korupsi dalam kegiatan pengadaan dan pemeliharaan fasilitas sarana/prasarana bagi masyarakat, dengan sumber anggaran dari dana hibah pemerintah provinsi domisili lembaga tersebut. Dalam pelaksanaannya, ketentuan penyaluran hibah mengacu Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). Guna mendukung pelaksanaan kegiatan, Pihak penerima dan pelaksana hibah telah membuat pedoman pengadaan yang tertuang dalam keputusan ketua lembaga dimaksud, namun diduga proses pengadaan tidak sesuai pedoman tersebut dan pertanggungjawaban keuangan tidak sesuai yang diatur di dalam naskah perjanjian hibahnya. Diduga pula terjadi rekayasa negatif penyelenggaraan pengadaan, seperti dengan cara rekayasa proses pengadaan, harga yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan bukti pertanggungjawaban yang tidak sebenarnya.
Beberapa tanya jawab yang muncul dalam persidangan, baik yang disampaikan oleh Majelis Hakim, Jaksa Penuntut, Penasihat Hukum, dan Terdakwa yang disampaikan kepada saya yang ditugaskan LKPP sebagai Pemberi Keterangan Ahli dalam persidangan ini, lebih kurang antara lain sebagaimana di bawah ini. Tanya dan jawab berikut mengalami beberapa penyesuaian, sehingga tidak sama persis dengan yang muncul di persidangan. Beberapa tanya dan jawab juga merupakan perkembangan diskusi sebelum dan sesuai sidang yang masih mengalir sehubungan beberapa pihak yang masih ingin lebih dalam lagi dibahas. Penyesuaian tersebut lebih kepada maksud untuk membuat lebih jelas substansi bahasan, untuk menjadi bahan pembelajaran bersama. Tanya dan jawab dimaksud antara lain :
Tanya :
Ketentuan apa yang mengatur pengadaan barang/jasa pada pemerintah di Tahun 2014?
Jawab :
Untuk pengadaan barang/jasa pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan mulai tanggal 1 Agustus 2012 sampai dengan 30 November 2014, maka pedoman peraturan yang dipergunakan adalah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sampai dengan perubahan yang kedua yaitu Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Perpres RI Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Tanya
Pengadaan apa saja yang pengadaannya berlaku Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya?
Jawab :
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, bahwa ruang lingkup berlakunya Peraturan Presiden ini adalah : 1) Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan K/L/D/I yang pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD; dan 2) Pengadaan Barang/Jasa untuk investasi di lingkungan Bank Indonesia, Badan Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD.
Tanya:
Apakah setiap pengadaan barang/jasa yang sumber anggarannya dari APBD / APBN wajib mentaati ketentuan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010.
Jawab :
Untuk setiap pengadaan yang memenuhi ruang lingkup Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, maka wajib mentaati ketentuan Peraturan Presiden ini.
Tanya :
Apa pedoman pengadaan barang/jasa yang dananya bersumber dari hibah keuangan di daerah tahun 2014?
Jawab :
Untuk pengadaan dengan anggaran yang bersumber dari hibah, maka pedoman hibah tersebut adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah Dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (telah diubah sebanyak 2 (dua) kali, yaitu dengan Permendagri 39 Tahun 2012 dan terakhir Permendagri 14 Tahun 2016). Permendagri ini setidaknya merupakan turunan langsung dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Di dalam Permendagri Nomor 32 tahun 2011 pasal 1 angka 14 dijelaskan bahwa hibah adalah pemberian uang/barang atau jasa dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah lain, Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Badan, Lembaga dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah.
Hibah daerah disepakati oleh pemberi kepada penerima hibah didasarkan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 1 angka 17 Permendagri Nomor 32 tahun 2011. NPHD merupakan naskah perjanjian hibah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah antara pemerintah daerah dengan penerima hibah. Termasuk dalam hal ini seluruh pertanggungjawaban penggunaan dana hibah oleh pemberi dan penerima didasarkan pada NPHD sebagaimana yang diatur di pasal 19 ayat (2) Permendagri Nomor 32 tahun 2011, bahwa pertanggungjawaban penerima hibah meliputi diantaranya surat pernyataan tanggung jawab yang menyatakan bahwa hibah yang diterima telah digunakan sesuai NPHD.
Secara khusus untuk pengadaan barang/jasa dalam konteks hibah ini diatur pada Pasal 15, bahwa Pengadaan Barang/Jasa dalam rangka hibah berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Ketentuan inilah yang menjadi penghubung antara peraturan terkait hibah daerah dengan pengadaan barang/jasa. Sehingga ketika hibah berbentuk barang/jasa, maka pelaksana pengadaan barang/jasanya adalah pengguna anggaran atau instansi pemerintah lain. Setelah barang/jasa diadakan, baru dihibahkan kepada penerima hibah. Dalam hal ini tata cara dan tata nilai pengadaannya mengacu pada Perpres 54 tahun 2010 beserta perubahannya, sesuai dengan ruang ruang lingkup Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Namun jika hibah berbentuk uang, maka pengelolaan barang/jasa mengacu kembali pada ketentuan NPHD.
Tanya :
Jika organisasi kemasyarakatan penerima hibah melaksanakan pengadaan barang/jasa yang sumbernya dari dana hibah daerah, maka pedoman/aturan apa yang digunakan untuk melaksanakan pengadaan tersebut ?
Jawab :
Jika hibah berbentuk Uang maka pengelolaan barang/jasa-nya mengacu pada ketentuan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (Pasal 13 Permendagri Nomor 32 tahun 2011).
Tanya :
Ketika lembaga/organisasi kemasyarakatan yang menerima hibah, kemudian melaksanakan pengadaan barang/jasa, apakah harus memperhatikan / menerapkan prinsip-prinsip pengadaan, yaitu efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil / tidak diskriminatif dan akuntabel ?
Jawab :
Jika lembaga/organisasi kemasyarakatan yang menerima hibah berbentuk uang yang dipergunakan untuk mengadakan pengadaan barang/jasa, maka prinsip pengadaan dalam pengelolaan pengadaannya mengacu pada ketentuan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (Pasal 13 Permendagri Nomor 32 tahun 2011).
Perlu diperhatikan juga dalam hak ini bahwa Permendagri Nomor 32 tahun 2011 ini merupakan turunan langsung dari Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, maka dalam penggunaan dan tata kelolanya, harus memperhatikan Asas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah yang di atur di dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tersebut, bahwa Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.
Tanya:
Jika lembaga/organisasi kemasyarakatan menerima hibah, kemudian melaksanakan pengadaan barang/jasa, apakah diperbolehkan membuat SOP atau aturan pengadaan barang/jasa yang mengikat untuk prosedur pengadaan barang/jasa yang dilakukan oleh organisaasi tersebut ?
Jawab :
Diperbolehkan, sepanjang selaras dan tidak bertentangan dengan ketentuan Naskah Perjanjian Hibah Daerah.
Tanya :
Jika diperbolehkan membuat SOP atau aturan pengadaan barang/jasa yang mengikat untuk prosedur pengadaan barang/jasa yang dilakukan oleh organisasi tersebut, apakah SOP tersebut harus mengacu kepada Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah?
Jawab :
Pengadaan barang/jasa oleh kelompok masyarakat dari dana hibah tidak harus mengikuti tata cara dalam Peraturan Presiden tentang Pengadaan barang/jasa pemerintah. Organisasi masyarakat tidak menjadi ruang lingkup yang secara langsung cara pengadaannya mengikuti Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan tentunya tata kelola yang ada tidak dapat disamakan. Sehingga perlu dijelaskan di dalam NPHD pendekatan/pedoman atau paling tidak prinsip yang perlu diperhatikan. Pengadaan oleh kelompok masyarakat ketika dananya bersumber dari APBN/APBD tetap harus mengacu pada tata nilai pengadaan sehingga pelaksanaan kegiatan dimaksud dapat dipertanggungjawabkan baik dari aspek teknis maupun administratif.
Tanya:
Jika pedoman pengadaan yang dibuat lembaga/organisasi kemasyarakatan penerima hibah dalam rangka pelaksanaan pengadaan sehubungan dana hibah tersebut tidak mengatur cara pelelangan, hanya penunjukan/pengadaan/pembelian langsung saja, apa diperbolehkan?
Jawab :
Diperbolehkan, sepanjang selaras dan tidak bertentangan dengan ketentuan Naskah Perjanjian Hibah Daerah.
Tanya:
Jika pedoman pengadaan yang dibuat lembaga/organisasi kemasyarakatan penerima hibah dalam rangka pelaksanaan pengadaan sehubungan dana hibah tersebut membuat prinsip pengadaan yang sama dengan Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, apa diperbolehkan?
Jawab :
Diperbolehkan, sepanjang selaras dan tidak bertentangan dengan ketentuan Naskah Perjanjian Hibah Daerah.
Tanya :
Jika seumpamanya dalam pelaksanaan pengadaan yang dilakukan oleh lembaga/organisasi kemasyarakatan penerima hibah berdasarkan NPHD ternyata adanya rekayasa negatif pengadaan, seperti tindakan pinjam bendera (pengalihan kontrak) dan rekayasa dokumen penawaran. Apakah hal tersebut diperbolehkan? Apa ketentuan yang dilanggar?
Jawab :
Adanya rekayasa negatif pengadaan, seperti tindakan pinjam bendera (pengalihan kontrak) dan rekayasa dokumen penawaran merupakan hal yang tidak diperbolehkan. Peraturan yang dilanggar adalah : a. Pasal 13 Permendagri Nomor 32 tahun 2011 berikut perubahannya; b. NPHD, khususnya dalam kasus ini bertentangan dengan ketenan di bagian cara pengadaan dan laporan pertanggungjawaban; dan c. Keputusan pimpinan organisasi tersebut tentang Sistem dan Prosedur Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan mereka.
Tanya :
Di dalam Keputusan pimpinan organisasi tentang Sistem dan Prosedur Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan mereka terkait pengadaan dari dana hibah ini mengatur bahwa panitia pengadaan mempunyai tugas pokok yang salah satunya menyusun dokumen pengadaan, namun pada kenyataannya pihak yang memiliki kewenangan tidak membuat dokumen tersebut. Selain itu dalam poin pemilihan langsung tertuang bahwa tahapan pengadaan jasa lainnya adalah: melalui undangan kepada rekanan, pendaftaran, pemberian penjelasan, pemasukan dokumen penawaran, evaluasi dokumen penawaran dan seterusnya, namun hal tersebut juga tidak dilaksanakan oleh panitia pengadaan. Apakah panitia pengadaan telah lalai dan telah gagal dalam melaksanakaan pengadaaan yang sumber anggarannya dari Keuangan Negara tersebut ?
Jawab :
Dengan tidak dilakukannya tahapan proses pemilihan penyedia sebagaimana tahapan yang diatur di dalam SOP, maka proses yang dilaksanakan oleh Panitia Pengadaan bertentangan dengan ketentuan di dalam Peraturan dan SOP dimaksud. Dalam hal ini Pejabat Pengadaan tidak melaksanakan dengan tertib proses pengadaan yang sumber anggarannya dari Keuangan Negara. Untuk selanjutnya perlu dianalisis lebih dalam faktor penyebab tidak terlaksananya ketentuan dimaksud, dan perlu ditelaah kaitannya dengan penyimpangan atas NPHD.
Tanya :
Di dalam NPHD antara Pemerintah daerah selaku pihak pertama dan pihak Organisasi masyarakat selaku pihak ke kedua mengatur kewajiban pihak kedua bahwa apabila hibah tersebut digunakan untuk pengadaan barang dan jasa, maka proses pengadaan barang dan jasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apakah yang dimaksud perundangan-undangan tersebut, apakah perpres 54 berikut perubahannya, ataukah SOP tentang pengadaan barang dan jasa yang dibuat oleh penerima hibah, serta jika salah satu dari aturan tersebut dilanggar sesuai dengan perbuatan panitia pengadaan di atas, maka apakah pihak Panitia pengadaan dari Pihak penerima hibah telah melakukan pelanggaran terhadap perundang-undangan, dengan cara tidak mematuhi aturan yang ada ?
Jawab :
Dengan munculnya klausul bahwa proses pengadaan barang dan jasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka tafsirannya membuka ruang diskusi dan pendapat yang lebih luas dan longgar. Seharusnya di dalam NPHD tersebut mengatur secara spesifik pedoman aturan yang dipergunakan.
NPHD idealnya dipertegas, apakah mengacu murni pada tata cara Perpres 54 tahun 2010 beserta perubahnnya atau Kelompok Masyarakat Pelaksana melaksanakan tata cara berbeda dengan tetap berpedoman pada tata nilai di Perpres 54 tahun 2010 beserta perubahnnya.
Dengan terbukanya kalimat pedoman yang dimaksud, maka pendekatan yang dipergunakan sebagai tata cara pengadaan adalah pedoman yang disetujui oleh pemberi Hibah. Maka dalam hal ini pedoman dimaksud adalah SOP yang telah ditetapkan. Jika tidak dilaksanakannya SOP tersebut sebagai pedoman tata cara pelaksanaan pengadaan, maka terdapat pelanggaran atas peraturan perundang-undangan dimaksud.
Tanya:
Jika pedoman pengadaan yang dibuat lembaga/organisasi kemasyarakatan penerima hibah dalam rangka pelaksanaan pengadaan sehubungan dana hibah tersebut membuat aturan dan istilah yang sama organisasi pengadaannya, seperti PA, KPA, PPK, PPHP, dan lain-lain, apa diperbolehkan?
Jawab :
Diperbolehkan, sepanjang selaras dan tidak bertentangan dengan ketentuan Naskah Perjanjian Hibah Daerah. Namun perlu diperhatikan bahwa ketika konteksnya berupa hibah uang ke lembaga/organisasi kemasyarakatan penerima hibah, dan lembaga/organisasi kemasyarakatan bukan K/L/D/I, maka tidak dimungkinkan lembaga/organisasi kemasyarakatan tersebut harus memberlakukan perangkat pengadaannya sama dengan perangkat pengadaan di Pemerintahan. Misalkan, tidak mungkin Ketua lembaga/organisasi kemasyarakatan diangkat atau mengangkat PA atau KPA, karena PA atau KPA adalah jabatan kewenangan dalam pengelololaan keuangan Negara/Daerah. Seperti untuk PA merupakan jabatan yang menyertai fungsi Pimpinan Perangkat Daerah, dan untuk KPA merupakan jabatan pelimpahan kewenangan dari PA kepada Kepala Unit kerja di bawahnya, yang diusulkan melalui Kepala Daerah. Sehingga kondisi ini tidak berlaku di lembaga/organisasi kemasyarakatan penerima hibah.
Adapun ketika lembaga/organisasi kemasyarakatan penerima hibah membentuk personil dengan istilah yang serupa dengan Peraturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, seperti PPK, Pejabat Pengadaan, dan PPHP, maka nomkelatur tersebut merupakan nomenklatur yang dibuat sama dengan istilah Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, namun tidak sama dengan para pihak yang diatur di dalam Peraturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, karena merupakan hal yang berbeda atas ruang lingkup penggunaan peraturan dimaksud. Namun tidak menutup kemungkinan beberapa pengistilahan yang ada, menjadi pendekatan dalam memudahkan penjabaran tugas dan kewenangan. Tugas dan kewenangan inilah yang harus diperiksa lebih dalam sesuai ketentuan pedoman pengadaan yang dibuat oleh lembaga/organisasi kemasyarakatan penerima hibah.
Ketika Hibah dalam bentuk uang, maka tata cara pengadaannya mengacu sebagimana ketentuan NPHD. Ketika NPHD nya membuka secara umum proses pengadaan, maka prosedur pengadaannya mengacu kepada pedoman pengadaan di internal penerima hibah uang, dengan tetap memperhatikan prinsip dalam penggunaan keuangan Negara/Daerah.
Penyimpangan atas pedoman pengadaan yang sudah dibuat oleh penerima hibah uang, merupakan penyimpangan atas NPHD yang sudah ditetapkan. Penyimpangan atas NPHD merupakan pelanggaran atas Pasal 13, Pasal 18, dan Pasal 19 Permendagri nomor 32 tahun 2011 beserta peraturan perubahannya.
Tanya:
Bagaimanakah kaitan peran Panitia Pengadaan dari lembaga/organisasi kemasyarakatan penerima hibah yang jika melakukan penyimpangan prosedur pengadaan dan pertanggungjawaban keuangan dengan Permendagri nomor 32 tahun 2011, dan adakah ketentuan yang dilanggar oleh mereka dalam permendagri tersebut ?
Jawab:
Para pihak yang diangkat dalam pengelolaan keuangan dari dana hibah yang termasuk di dalamnya terkait pengadaan barang/jasa, maka wajib mempedomani pedoman pengadaan yang sudah dibuat oleh penerima hibah uang yang merupakan bagian dari ketentuan NPHD yang sudah ditetapkan. Penyimpangan atas NPHD merupakan pelanggaran atas Pasal 13, Pasal 18, dan Pasal 19 Permendagri nomor 32 tahun 2011 beserta peraturan perubahannya.
Tanya:
Apakah diperbolehkan jika dalam pelaksanaan pengadaan barang melalui hibah dalam bentuk uang yang diterima oleh sebuah organisasi non pemerintah, telah terjadi penyimpangan oleh pelaksana pengadaan tersebut, seperti dengan volume yang tidak sesuai dengan perjanjian dan pembayaran, harga barang yang dimark-up, dan proses pengadaan yang direkayasa tidak sesuai dengan yang sebenarnya? Apa peraturan dan ketentuan yang dilanggar dalam pelaksanaan pengadaan berdasarkan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) antara Pemerintah daerah selaku pihak pertama dan dengan lembaga/organisasi kemasyarakatan penerima hibah selaku pihak ke kedua ?
Jawab:
Hal tersebut tidak diperbolehkan. Peraturan dan ketentuan yang dilanggar adalah : Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tersebut, bahwa Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat; Pasal 13 Permendagri nomor 32 tahun 2011 beserta peraturan perubahannya, terkait ketentuan NPHD; Pasal 18 Permendagri nomor 32 tahun 2011 beserta peraturan perubahannya, terkait pertanggungjawaban pemerintah daerah; Pasal 19 Permendagri nomor 32 tahun 2011 beserta peraturan perubahannya, terkait pertanggungjawaban penerima hibah; Ketentuan NPHD yang telah ditetapkan, yaitu pada ketentuan yang mengatur bahwa pengadaan barang dan jasa sesuai peraturan perundang-undangan. Sehubungan dalam hal ini lembaga/organisasi kemasyarakatan penerima hibah bukan K/L/D/I, maka peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah Sistem dan Prosedur yang dipergunakan oleh lembaga/organisasi kemasyarakatan penerima hibah dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa; dan Sistem dan Prosedur Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan lembaga/organisasi kemasyarakatan penerima hibah tersebut yang menjadi pedoman sesuai ketentuan NPHD, pada bagian : 1) Pasal yang mengatur Prinsip pengadaan; 2) Pasal yang mengatur Etika pengadaan; 3) Bab yang mengatur Para Pihak Dalam Pengadaan; dan 4) Bab yang mengatur Tata Cara Pengadaan.
Tanya:
Ketika sudah dialokasikan dana hibah sesuai peruntukan, apakah dana hibah tersebut harus dihabiskan dan pertanggungjawaban yang dibuat harus sama dengan alokasi anggaran? Apakah logis pengadaan barang dan konstruksi akan sama pertanggungjawabnya dengan rencana dan alokasi anggaran ?
Jawab :
Pertanggungjawaban harus sesuai dengan riil transaksi, tidak boleh direkayasa. Alokasi anggaran lebih bersifat pagu anggaran yang siap dipergunakan dan pertanggungjawaban sesuai pengadaan yang sebenarnya. Jika ada efisien, maka dikembalikan ke pemberi hibah, sesuai ketentuan Pasal 3 NPHD yang sudah ditetapkan tersebut.
Untuk pengadaan barang dan pekerjaan kontruksi, probabilitas nilai pelaksanaan dan alokasi anggaran akan sama persis sangatlah kecil, karena dipengaruhi oleh banyak variabel, seperti perubahan harga pasar, koefisien dan volume pekerjaan, dan jenis pekerjaan.
Lebih kurang tanya dan jawab di atas merupakan materi-materi yeng dibahas dan beberapa di antaranya diulang diutarakan di persidangan dan beberapa diskusi sebelum dan sesudah persidangan. Ada beberapa catatan yang kiranya perlu menjadi perhatian dan pembelajaran bersama semua pihak (pemberi hibah, penerima hibah, dan pihak terkait lainnya) ketika berhadapan dengan kondisi pengadaan yang sama dengan kejadian di atas, yaitu ketika pemerintah daerah memberikan dana hibah kepada lembaga/organisasi masyarakat non pemerintah dari dana APBD untuk pengadaan barang/jasa, antara lain :
- Sebelum penandatanganan NPHD dan penyaluran dana hibah, Pemberi hibah perlu memastikan bahwa penerima hibah diyakini akan cukup mampu untuk melaksanakan proses penggunaan dana hibah tersebut, termasuk pedoman/ tata cara pengadaan yang akan dilaksanakan oleh penerima hibah. Cukup logis tentunya ketika sejumah uang akan diberikan untuk tujuan yang berhubungan dengan kepentingan si pemberi uang, maka si pemberi uang akan memastikan terlebih dahulu uang tersebut akan digunakan dengan benar dan terhindar dari penyimpangan. Pemberian hibah sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 tahun 2011 beserta perubahannya, ditujukan untuk menunjang pencapaian sasaran program dan kegiatan pemerintah daerah dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas, dan manfaat untuk masyarakat.
- Acapkali pemberi hibah di dalam Naskah Perjanjian Hibahnya menggunakan kalimat yang umum terkait tata cara pengadaan, penggunaan, dan pertanggungjawaban atas dana hibah tersebut, seperti “Tata cara pengadaan barang/jasa atas dana hibah ini sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku”. Ini merupakan bahasa yang umum dan berpotensi tafsirannya membuka ruang diskusi dan pendapat yang lebih luas dan longgar. Seharusnya di dalam NPHD tersebut mengatur secara spesifik pedoman aturan yang dipergunakan. Ketika hibah tersebut berbentuk barang/jasa atau yang menerima adalah unsur Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah, maka bahasa ”sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku” menjadi cukup jelas, yaitu aturan pengadaan barang/jasa pemerintah. Namun ketika penerimaannya berbentuk uang dan yang menerima adalah kelompok masyakarat, maka hal ini menjadi belum terlalu jelas. NPHD idealnya dipertegas, apakah mengacu murni pada tata cara pengadaan barang/jasa pemerintah atau Kelompok Masyarakat Pelaksana melaksanakan tata cara berbeda dengan tetap berpedoman pada tata nilai di pengadaan barang/jasa pemerintah.
- Tidak menutup kemungkinan pemberi hibah akan meminta penerima hibah membuat terlebih dahulu pedoman tata cara pengadaannya akan dilaksanakan, dan menegaskan kewajiban menjalankan pedoman tersebut.
- Untuk masyarakat penerima hibah perlu betul-betul memastikan bahwa cara pengadaan, penggunaan dan pertanggungjawaban yang akan dilaksanakan akan dapat diterima oleh pemberi hibah. Jangan kalap dengan sejumlah uang yang diterima, sehingga lupa akan tanggungjawab yang harus ditempuh. Perlu diingat hibah ini bukan sedekah lepas tanpa kewajiban, tapi ditunggung pertanggujawaban dan menjadi objek audit. Penyimpangan yang terjadi dapat mengantarkan kondisi tak nyaman yang dapat merugikan keuangan negara.
Sampai ditayangkan tulisan ini, belum terbit keputusan inkrah dari pengadilan, sehingga bisa jadi beberapa jawaban yang saya kemukakan belum tentu selaras putusan pengadilan, tapi saya sudah berikhtiar untuk menyampaikan pendapat saya sesuai dengan beberapa referensi yang saya miliki.
Demikian sedikit cerita kejadian beberapa hari yang lampau untuk menjadi iktibar bagi pihak-pihak yang punya kisah berkaitan sama dengan kisah di atas, atau siapa saja yang menilai case di atas dapat menjadi pembelajaran. Wallahua’lam bissawab.
Selamat siang pak Fahrurrazi, terima kasih atas pencerahannya melalui artikel ini. Cukup menarik pak, terutama karena di dinas kami juga membina lembaga non pemerintah penerima hibah dalam bentuk uang, ada sedikit pertanyaan pak..
1. Mengenai SOP Pengadaan Barang/Jasa Penerima Dana Hibah yang disusun oleh penerima hibah, apakah cukup ditandatangani oleh ketua lembaga tersebut atau harus ada persetujuan dari pimpinan daerah selaku pemberi hibah?
2. Apakah SOP ini nanti kedudukannya bisa diakui sebagai “perundang-undangan yang berlaku”? mengingat dalam NPHD disebutkan “Tata cara pengadaan barang/jasa atas dana hibah ini sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku” seperti yang bapak sebutkan diatas?
Terima kasih pak.. salam sehat selalu..
Siap Bapak..
Terkait yang Bapak sampaikan :
1. Tidak ada ketentuan SOP harus ditandatangani atau diketahui oleh Pemberi Hibah, karena SOP tersebut menjadi kewenangan Organisasi masing-masing. Namun dimungkinkan pihak pemberi hibah untuk melakukan analisis atau reviu terhadap SOP atau Pedoman pengadaan yang akan dilakukan oleh penerima hibah, guna memastikan hibah tersebut akan dikelola dengan baik.
2. Perundang-undangannya adalah Permendagrinya. Adapun NPHD dan apa ketentuan cara pengadaan yang nanti akan ditetapkan dalam NPHD menjadi bagian dari proses melaksanakan peraturan tersebut. Sehingga ketika terjadi NPHD dan Ketentuan pengadaannya tidak dilaksanakan, dapat menjadi bagian dari pertentangan atas peraturan yang ada.
Terima kasih