Karena panik berbuat salah, tak menyangka kemarahan mu atas terlewatnya shalat magrib waktu itu adalah sandiwara Mu..
Tak ingat dengan pasti, magrib di kabisat Februari kapan..
Kau ungkap nada keras yang tak pernah kudengar sebelumnya.
Kau ceritakan kekesalan Mu disertai intonasi murka..
Aku yang sadar dengan salahku. Sadar Engkau paling tidak terima ketika putranya tinggalkan shalat.
Sehingga diam adalah pilihan, dan diam yang tak sebanding dengan cemas karena melihat Mu marah..
Remuk hati menghadapi malam..
Sesak dada ketika harus pejamkan mata tanpa sapaan sayang Mu..
Sampai tak terbilang kali terbangun karena tak pulasnya dalam panik..
Memang telah menjadi candu mendapatkan sayang Mu..
Dan ada bencana dahsyat melihat marah Mu..
Entah terjaga di kali yang ke berapa, ketika sempat mendengar lirih tangis, ratapan, dan munajat yang berbaur..
Aku tau itu suara Ibu..
Walau sesayup, tapi aku dapat mendengar isak Mu dalam doa meminta Allah menyayangi diriku.
Engkau paksa Allah karuniakan shalih atas diriku..
Engkau rayu Allah agar selalu hilangkan catatan dosa dan salahku..
Dan macam-macam frasa munajat Mu, dengan sasaran utamanya adalah Aku..
Ibu, Engkau pasti tak tau klo Aku mendengarkan itu..
Engkau juga tak tau kalau bait pengakuan sandiwara kemarahan Mu terdengar oleh Ku..
Dan Engkau tak tau kalau aku sudah tau cara berbohong Mu..
Dan Engkau tak pernah tau bantal yang basah oleh air mata yang menahan rasa atas do’a Mu..
Aku berpura-pura terbangun, dan memang untuk tunaikan tahajud.
Sengaja langkah kaki ke tempat wudhu diperjelas, agar Ibu mendengar dan selaraskan birama suara doanya..
Ternyata Ibu tidak berjaya dalam sandiwara amarah..
Selesai 2 rakaat dalam gerak salam ke kiri, Ibu sudah langsung menyapa sayang dan memeluk Ku..
Kedamaian tanpa bisa dibanding…
Munajat Ku kepada Mu Rabb, mulia kan Ibu Ku di semua alam kehidupan dan ketiadaan..